Desa Kopi yang Hilang
Tuesday, November 20, 2012
Add Comment
Sahabat Petualang, usai beristirahat semalam petualangan bersama 3 Terios kami lanjutkan. Tujuan kami selanjutnya adalah mengeksplor kopi yang dihasilkan dari desa di Madailing Natal. Perjalanan dari lokasi kami menginap di dekat Danau Maninjau terpaksa agak siang baru dilakukan. Waktu tempuh Bengkulu – Bukittinggi selama 18 jam nonstop cukup menyedot energi sebagian anggota tim Terios 7Wonders.
Referensi: http://www.daihatsu.co.id/terios7wonders/news
Bahkan sebagian anggota tim sudah terkena gejala flu dan batuk. Penyebabnya apalagi kalau bukan kelelahan akibat perjalanan panjang. Dengan stamina terkuras dan kondisi tubuh menurun tentu memudahkan virus penyakit hinggap di tubuh manusia.
Keluar dari penginapan di sekitar Danau Maninjau, mestinya kami ingin mengabadikan keindahan alam di danau ini. Sayang kabut yang lumayan tebal dan banyak menutup pemandangan indah tersebut. Ya sudah enggak masalah! Masih banyak kok obyek wisata lainnya yang akan ditemui di sepanjang jalan nanti.
Perfoma 3 Terios yang kami bawa ternyata masih tetap mantap. Walaupun kami “siksa” untuk melahap rute yang dilalui, semua berhasil diatasi dengan sempurna. Semetara kondisi aggota tim 7 Wonders sendiri akibat perubahan suhu yang lumayan cepat berubah-ubah dan juga kurangnya istirahat membuat sebagian orang mulai teserang flu. Tapi sejauh ini semua masih tetap oke dan semangat.
Kota Bukittinggi yang juga disebut kota Seribu Ngarai memang punya keindahan alam yang memesona. Kami sempat berfoto di Ngarai Maninjau. Setelah itu perjalanan segera kami lanjutkan. Tujuan kami adalah melihat pengolahan dan perkebunan kopi rakyat di Mandailing (Mandheling) Natal. Sahabat kami Lelo Andhika Syahna sudah menunggu di daerah Pasaman bersama Daihatsu Taft pikapnya.
Begitu sampai di Pasaman Lelo segera menyambut tim 7Wonders dan langsung mengajak untuk bergerak menuju Desa Sambang Banyak Jae Ulu Pungud. “Di sana masih banyak kebun kopinya Bang. Umur kebun kopinya juga sudah puluhan tahun,” celotehnya. Jika menilik sejarah kopi Arabica pertama kali masuk Indonesia pada 1699 oleh Belanda dan ditanam di daerah Mandheling Natal.
Dalam sejarah perkopian Indonesia desa yang jadi pusat kopi Arabica pertama kali di tanam adalah Desa Pakantan – Mandheling Natal. Nama Desa Simpang Banyak Jae Ulu Pulud memang tidak disebutkan. Tapi bisa jadi ini juga salah satu pusatnya. Mengingat masih dalam satu wilayah dan juga berada di ketinggian 1.200 m dpl.
Ternyata dari pertigaan jalan raya Pasaman, kami harus menempuh perjalanan kurang lebih 25 Km dan masuk kembali di arah pedalaman. Jalannya beraspal namun lumayan sempit. Kalau berpapasan harus berjalan pelan agar ban tak kejeblos dengan tanah.
Desa yang berada di lembah di antara dua bukit ini seperti desa yang hilang. Jika jalanan yang dilalui bukan aspal tapi jalan tanah pasti akan terasa sekali suasana jauh dari peradaban. Apalagi semakin masuk ke dalam menuju Desa Ulu Pungud sinyal handphone (HP) langsung hilang juga. Namun jadi agak kontras ketika melihat rumah dengan dinding kayu namun punya antena parabola.
Menurut Makmur dan Fuad, dua penduduk Desa Sambang Banyak Jae Ulu Pungud ini yang menemani kami mengeksplorasi kopi Mandheling, televisi adalah satu-satunya hiburan yang digemari warga. Kalau pakai antena tv biasa sudah pasti tak akan ada siaran tv yang tertangkap. Wah!
Selanjunya Makmur bercerita kopi yang ada di desanya sudah berusia puluhan tahun. “Mungkin malah ratusan tahun. Pohon ini diwariskan turun temurun. Ada 2 jenis di sini. Paling banyak kopi jenis Arabica, baru kemudian Robusta,” perinci Makmur. Pantas saja ketika melewati hutan sebelum sampai Desa Ulu Pungud, melalui radio komunikasi Lelo pemandu kami bilang jika di hutan itu terdapat banyak pohon kopi.
Tapi jujur saja kami tak melihatnya karena tak bisa membedakan dengan pohon hutan lainnya. Setelah melihat wujud aslinya, barulah tahu beda pohon kopi Arabica dengan Robusta. Pohon Arabica memiliki daun lebih kecil tapi penampangnya tinggi. Dari desa ini kami diajak untuk masuk lagi ke dalam menuju desa paling ujung. Jalan aspal sudah habis dan berganti jalanan makadam dan tanah. Asyiiikk off-road time! Hujan deras yang sempat turun membuat tanah jadi becek. Ini justru yang dinanti dan bikin badan jadi segar lagi.
Ground clearence Terios teruji dan tak mudah mentok. Sementara performa girboks matik dan juga mesin 1.500 vvti ok juga. Dipaksa main off-road ternyata oke banget. Kalau ada versi 4x4-nya pasti tetap laku. Hari ini kami masuk penginapan di Mandhelig Natal sekitar pukul 9 malam.
Tunggu terus kisah seru kami selanjutnya.
Gelas Batok Kopi Mandailing | Kopi Mandailing | Warung Kopi Mandailing |
..blog ini lagi ikutan lomba terios 7 wonders dari daihatsu..
..doain ngakak beloger yah supaya bisa jadi pemenangnya..
0 Response to "Desa Kopi yang Hilang "
Post a Comment